Sunday, October 21, 2012

Tangani Krisis Eropa, IMF Harus Belajar Pengalaman Pahit Indonesia

Tangani Krisis Eropa, IMF Harus Belajar Pengalaman Pahit Indonesia

Krisis moneter Asia 97-98, IMF salah beri resep. IMF mengaku "salah".

Senin, 15 Oktober 2012, 11:21 Renne R.A Kawilarang
Presiden Suharto tandatangani kesepakatan sambil disaksikan pejabat IMF di Jakarta pada 15 Januari 1998
Presiden Suharto tandatangani kesepakatan sambil disaksikan pejabat IMF di Jakarta pada 15 Januari 1998 ( REUTERS/Enny Nuraheni/Files)

VIVAnews - Sejumlah pejabat tinggi keuangan mancanegara menilai bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) sudah seharusnya belajar dari kesalahan yang mereka terapkan saat memberi pinjaman bersyarat (bailout) selama krisis moneter di Asia 1997-1998. Krisis itu kini menimpa Eropa, dan negara-negara itu harus menerima pil pahit dari IMF, seperti yang pernah dirasakan oleh Indonesia dan negara-negara Asia lainnya.

"Banyak pihak belajar dari apa yang terjadi di masa lalu," kata Menteri Perdagangan Indonesia, Gita Wirjawan, di sela-sela pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Tokyo, Jepang, seperti yang dimuat kantor berita Reuters hari ini. "Apa yang kami alami selama 1998 itu sangat menyakitkan. Saya pun mengalaminya dan semoga berbagai kesulitan yang kami alami dapat diambil hikmahnya," lanjut Wirjawan.

Selama krisis 1997-98 negara-negara Asia seperti Indonesia dan Korea Selatan - serta Argentina di kawasan Amerika Latin - menerima pinjaman bersyarat dari IMF. Indonesia sendiri menyepakati pinjaman bersyarat sebesar US$10 miliar dari IMF di tengah krisis.

Dalam suatu foto yang monumental pada 15 Januari 1998, Presiden Suharto saat itu, dengan posisi menunduk, menandatangani Nota Kesepahaman pinjaman bersyarat sambil disaksikan Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus, sambil berlipat tangan. Foto itu menjadi pertanda bahwa Indonesia harus tunduk kepada IMF dalam pengambilan kebijakan-kebijakan ekonomi.

Para negara penerima bantuan IMF, seperti yang dialami Yunani saat ini, harus menjalani berbagai program penghematan anggaran dari IMF demi mengatasi krisis dan menyeimbangkan anggaran negara. Pemerintah Indonesia saat itu harus menjalani serangkaian program dari IMF, seperti pengurangan belanja negara, menaikkan pajak, penutupan banyak bank, dan sejumlah kebijakan moneter ketat.

IMF mengira bahwa serangkaian program itu bakal langsung menekan krisis dan konsekuensinya terbatas. Namun, program penghematan itu langsung menyebabkan terganggunya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu dan justru menimbukan gangguan sosial yang besar. Berbagai demonstrasi dan kerusuhan terjadi dan berujung pada mundurnya Presiden Suharto - yang sudah 32 tahun lebih memerintah - pada 21 Mei 1998.

Dalam kasus di Indonesia pada 1997, IMF mengharuskan adanya pemotongan anggaran dan kebijakan moneter ketat. Saran ini dikritik justru bisa memperburuk situasi. Betul saja, ekonomi Indonesia saat itu menurun drastis sebanyak 13 persen pada 1998, padahal IMF memproyeksikan ekonomi negara itu bakal tumbuh 3 persen.

Korsel mengalami nasib yang lebih baik, walau juga harus menelan pil pahit dari IMF. Pada 1997, Korsel menerima bantuan bersyarat US$21 miliar dan bersedia menjalankan sejumlah program, yang diperkirakan tingkat produk domestik bruto-nya hanya turun dari 5,7 persen menjadi 3 persen pada 1998. Kenyataannya, ekonomi Korsel di tahun itu justru melemah sebesar hampir 6 persen.

Chung Duck-koo, yang memimpin delegasi Korsel saat bernegosiasi dengan IMF soal pinjaman bersyarat pada 1997, menilai bahwa lembaga kreditur itu salah diagnosa. IMF menganggap krisis mata uang sebagai masalah kebijakan fiskal dan memberi rekomendasi yang salah soal reformasi ekonomi. 

"Mereka ibarat pemadam kebakaran yang datang terlambat dan membawa tidak cukup air dan salah menilai kekuatan api yang mereka hadapi," kata Chung kepada Reuters. "Maka, api pun bertambah besar," lanjut Chung.
Mengaku Salah
Belakangan, mantan Direktur Pelaksana IMF, Dominique Strauss-Kahn, pada 2010 mengakui bahwa lembaga kreditur itu telah berbuat sejumlah "kesalahan" dalam menanggulangi krisis di Asia.

Sebelum muncul pengakuan dari Strauss-Kahn, IMF pada 1999 menyadari bahwa mereka seharusnya bisa langsung bersikap melunak begitu ekonomi negara penerima bantuan bersyarat itu justru menderita krisis yang lebih buruk dari yang mereka prediksi. Namun IMF saat itu juga menyalahkan pemerintah negara bersangkutan yang tidak disiplin menerapkan program penghematan yang mereka susun. 

Tidak heran bila, hingga kini, reputasi IMF di Asia telah tercemar. Belajar dari situasi itu, negara-negara Asia termasuk Indonesia, sepakat membentuk mekanisme baru penyelamatan dari krisis secara kolektik tanpa harus bergantung lagi dari IMF. Mereka telah menghimpun dana US$6 triliun dalam bentuk cadangan devisa asing secara regional.

Pekan lalu, IMF menerbitkan laporan survei bahwa kerusakan ekonomi dari sejumlah langkah penghematan saat ini bisa tiga kali lebih besar dari yang diduga sebelumnya. "Nasihat [dari IMF] terkadang memang sulit - baik dalam memberi maupun menerima," kata Direktur Pelaksana IMF saat ini, Christine Lagarde, saat berpidato di pertemuan tahunan di Tokyo pada Jumat pekan lalu.

Sejalan dengan laporan riset mereka, pejabat IMF pun kini bersikap lunak dalam memberi masukan soal program penghematan kepada negara di Eropa yang sedang terkena krisis. Menurut IMF, memaksa Yunani dan negara-negara lain yang juga terpukul krisis keuangan dalam mengurangi defisit anggaran justru bisa menjadi langkah yang kontraproduktif.

Yunani sendiri pun sedang bergolak. Pemerintahnya mengalami dilema apakah harus tetap menjalani program penghematan dari IMF dan Uni Eropa, sebagai syarat menerima bantuan, atau terus-terusan didemo rakyatnya, yang sudah menderita akibat program penghematan dari pemerintah.

© VIVA.co.id 

No comments:

terima kasih

atas kunjungan anda