Thursday, March 22, 2012

Tahun 2011 Ada 63 Kasus Terkait Agama di RI

Nasional

Pengamat politik UGM menyebut, kasus ini karena pusat cenderung diam.

Kamis, 22 Maret 2012, 07:23 WIB
Arfi Bambani Amri 
VIVAnews - Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) Universitas Gadjah Mada meluncurkan laporan tahunan mengenai kasus kekerasan berkaitan dengan agama. Pada 2011 lalu, UGM mencatat ada 63 kasus yang muncul.


Peneliti CRCS Dr. Suhadi Cholil mengatakan CRCS mencatat terjadi 20 aksi kekerasan, 7 kasus tuduhan penodaan agama, dan 36 kasus keberadaan rumah ibadah. Daerah yang paling sering terjadi kekerasan agama meliputi Jawa Barat, DKI dan Banten. Disusul Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Riau. Sisanya tersebar di beberapa daerah di seluruh Indonesia.


Menurut Suhadi, peran ormas keagamaan sangat penting dalam mengajak massanya untuk menolak melakukan kekerasan. “Anak-anak harus diajarkan untuk menolak melakukan kekerasan. Ormas keagamaan memiliki peran yang besar untuk mendidik ini,” katanya dalam rilis yang diterima VIVAnews, Kamis 22 Maret 2012.


Peluncuran riset ini dilakukan Rabu kemarin di kampus UGM. Riset diulas oleh analis politik UGM Ari Dwipayana dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Muayyad, Solo, Kiai Haji Dian Nafi.


Ari Dwipayana melihat berulangnya model kekerasan beragama dengan pola yang mirip merupakan dampak dari tindakan diskriminasi yang dilakukan negara terhadap kelompok agama minoritas. Bahkan, kasus kekerasan beragama tidak lagi diselesaikan melalui kebijakan publik namun menyerahkan sepenuhnya kepada elite politik lokal.


”Saya melihat pemerintah pusat cenderung diam dengan melokalkan penanganan kasus," kata pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM itu. "Masalah GKI Yasmin dan Ahmadiyah, Presiden sepertinya tak mau ambil risiko dan memindahkan kasus itu menjadi isu lokal,” katanya.


Yang dikhawatirkan oleh Ari justru fenomena kekerasan beragama yang kerap terjadi di daerah menjadikan masyarakat kian permisif terhadap berbagai aksi kekerasan yang dilakukan kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama. Ari menyayangkan bahwa pemerintah masih menganggap kasus kekerasan beragama yang terjadi selama ini dalam batas normal.Sementara dari kelompok agama yang melakukan aksi kekerasan melakukan pembenaran dengan doktrin teologi. “Bahaya besar apabila menganggap kekerasan agama yang terjadi ini sebagai sesuatu yang normal."


Dia berpendapat pemerintah dan DPR harusnya mengeluarkan peraturan yang mampu melindungi dan menghormati kebebasan beragama bukan peraturan yang bersifat diskriminatif, partisan, memihak dan melindungi kelompok tertentu atas dasar kepentingan politik sesaat. “Karena banyak UU yang bernuansa agama untuk kepentingan elektoral dan konfigurasi politik, komodifikasi agama, dan rebutan kavling ekonomi,” ujarnya.


Selain itu, dia menyoroti lemahya kepolisian dalam mengantisipasi munculnya kasus kekerasan agama akibat kegamangan kepolisian dalam menentukan posisi. “Karena kebijakan politik dalam kasus itu tidak pernah jelas. Polisi lalu berpihak yang dianggap mainstream pada aksi massa mayoritas. Padahal ini menjatuhkan kredibilitas negara di depan kelompok minoritas yang seharusnya dilindungi,” katanya.


Senada, KH. Dian Nafi, mengusulkan perlu adanya penguatan pendidikan agama dan meningkatkan rasa kebangsaan di kalangan generasi muda agar tidak mudah terprovokasi melakukan tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. “Mereka perlu dididik untuk meningkatkan spiritualitas, agar memiliki rasa harga diri, nilai moralitas, dan rasa memiliki antar sesama,” kata Dian. (ren)




• VIVAnews

No comments:

terima kasih

atas kunjungan anda